Sumber Ilustrasi: Pxfuel |
Oleh: Ramli Lahaping
Pagi kemarin, aku mendapatkan telepon dari ibuku. Ia menyampaikan bahwa ayahku mengalami kecelakaan sepeda motor ketika hendak ke pasar. Katanya, jalanan licin selepas hujan, sehingga ban motor ayahku selip ketika mencoba menghindari lubang yang dalam di tengah aspal. Namun untungnya, ayahku hanya mengalami luka goresan pada bagian siku dan punggung kakinya.
Aku sungguh cemas mendengar kabar itu. Aku berniat pulang, tetapi ibuku berkata tidak usah. Barangkali sebaiknya demikian. Itu karena aku berdomisili di ibu kota provinsi, dan aku harus menempuh perjalanan selama enam jam untuk sampai ke sana. Belum lagi, sebagai seorang wartawan, aku punya tugas liputan yang harus kutuntaskan sesuai batas waktu.
Akhirnya, atas kecelakaan ayahku itu, aku jadi semakin kecewa kepada gubernur dan jajarannya. Pasalnya, mereka tak juga melakukan perbaikan jalan provinsi di daerah asalku. Akibatnya, jalan itu terus mengandung ancaman bahaya bagi keselamatan pengguna jalan. Padahal, sudah bertahun-tahun jalan tersebut rusak dan menuai banyak keluhan dari masyarakat.
Permasalahannya kegusaranku memang tidak ada gunanya. Aku tak punya daya untuk menyegerakan proyek pengerjaan jalan tersebut. Apalagi, pihak pemerintah yang berwenang memang sepertinya tidak punya niat untuk melakukannya. Setidaknya, sudah beberapa kali mahasiswa dan masyarakat berunjuk rasa, tetapi tak juga ada tindak lanjut.
Akan tetapi, sebagai wartawan aku tentu punya akses dan legalitas untuk mencari tahu permasalahan perbaikan jalan tersebut. Aku bisa mewawancarai gubernur dan para aparaturnya untuk meminta penjelasan. Hanya saja aku merasa masih butuh waktu untuk memperlajari jalan penelusuranku, sebab aku baru-baru saja dipindahkan ke liputan bidang politik. Itu pun kalau atasanku di kamar redaksi menyetujuinya sebagai bagian liputanku.
Jadi, aku merasa harus bersabar untuk mempelajari ruang lingkup dan dinamika bidang pemberitaanku sebelum mengusut soal perbaikan jalan. Apalagi, aku hanya terus ditugaskan untuk meliput konstelasi politik menjelang gelaran pilkada, termasuk pemilihan gubernur di provinsiku ini. Setiap hari, aku terus saja bergelut mengamati intrik-intrik politik para bakal calon yang akan maju pada pilkada mendatang, termasuk anak sang gubernur yang sedang menjabat.
Tentu saja, melakoni pekerjaan sebagai seorang wartawan, membuatku mengalami banyak pergolakan batin. Itu karena aku jadi sangat paham bahwa kontestasi politik hanyalah lakon sandiwara untuk mencari titik kesepakatan terkait pembagian jatah kekuasaan kelak. Karena itu, aku bisa menaksir bahwa setelah pemilihan berlangsung dan seorang calon terpilih sebagai penguasa, maka ruang pemerintahan hanya akan jadi bagian-bagian untuk siapa saja yang punya andil memenangkan sang calon.
Meliput peraduan politik yang tanpa idealisme semacam itu, sungguh membuatku dilematik. Aku hanya akan menulis berita yang memuat ungkapan-ungkapan yang terkesan sungguh-sungguh dari para politikus, ketika aku tahu bahwa mereka hanya bermaksud mempermainkan wacana publik. Aku hanya akan menulis janji-janji manis mereka untuk masyarakat, ketika aku tahu bahwa mereka hanya ingin membajak kekuasaan pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan sekutu mereka masing-masing.
Peliknya, sebagai wartawan, aku tak bisa menulis berita tanpa menyertakan kutipan wawancaraku dengan para politikus. Akibatnya, aku terus menulis berita yang berisi silatan lidah mereka, sehingga tulisanku hanya terbaca sebagai pembenaran dan pencitraan mereka. Apalagi, di tengah krisis demokrasi, ketika masyarakat takut mengkritik, aku tak bisa mendapatkan pernyataan pembanding atau penentang untuk pernyataan mereka, sedang aku terlarang untuk menuliskan opiniku sendiri.
Dan menjelang tengah hari kemarin, aku pun mendapatkan tugas untuk mewawancarai sang gubernur. Aku diperintahkan untuk meminta pendapatnya tentang isu bahwa anaknya akan maju sebagai calon gubernur di pilkada mendatang. Atas itu, lagi-lagi, aku bisa membayangkan bahwa tulisanku hanya akan berisi kata-kata manis dari sang gubernur tentang anaknya.
Akhirnya, demi bekal hidup, aku pun melaksanakan tugas tersebut sesuai perintah. Untuk itu, setelah sang gubernur selesai melakoni acara perayaan ulang tahun hari jadi provinsi di sebuah lapangan, aku pun turut mengerubunginya bersama para awak media yang lain. Aku terus mengiringi langkah-langkah pulangnya, sembari berusaha meloloskan pertanyaan-pertanyaan yang telah digariskan oleh redakturku untuk kebutuhan penulisan beritaku.
"Apa benar bahwa Bapak akan memajukan anak Bapak sebagai calon gubernur di pilkada mendatang?" tanyaku, berulang-ulang, di sela-sela pertanyaan perihal seremonial acara ulang tahun provinsi dari para wartawan yang lain.
Beruntung, sang gubernur tampak memerhatikanku. Seketika, raut cerianya berubah jadi serius. "Ya, kita lihat saja nanti. Situasi politik, kan, cair. Kalau dukungan politik, utamanya dari partai, ada untuknya, ya, kenapa tidak."
"Tetapi kalau menurut penilaian Bapak sendiri, apakah anak Bapak punya kapabilitas untuk menjadi seorang gubernur?" tanyaku lagi, segera, agar ia tak mengalihkan perhatiannya.
Ia pun menjawab dengan sikap berwibawa, "Ya, tentu saja. Saya yakin, kalau masyarakat memberinya kepercayaan, ia pasti mampu memimpin daerah ini dengan baik. Apalagi, ia punya latar belakang pendidikan teknik, dan ia telah bergelut dalam bidang konstruksi sekian lama. Hal itu tentu memberinya kemampuan untuk melanjutkan program pembangunan yang tidak sempat saya rampungkan di masa pemerintahan saya."
Beberapa wartawan kemudian melontarkan beragam bertanyaan, dan sang gubernur menjawabnya sembari terus melangkah ke sisi mobilnya.
Tiba-tiba, aku terdorong untuk menanyakan keresahanku sendiri, perihal pembangunan jalan provinsi di kabupaten asalku yang tak juga dilakukan. Sampai akhirnya, sebelum sang gubernur benar-benar sampai dan masuk ke dalam mobil, aku pun lekas melontarkan pertanyaan dengan begitu saja. "Pak, banyak warga di daerah yang mengeluh karena jalan provinsi yang rusak tak juga dibenahi, terutama pada kabupaten di bagian selatan. Apa memang tidak ada rencana untuk melakukan perbaikan, Pak?"
Sektika, sang gubernur memandangiku dengan tatapan yang tajam, kemudian menjawab dengan raut yang datar, "Tentu kami memiliki rencana untuk melakukan perbaikan jalan-jalan yang rusak. Tetapi proses pelaksanaannya, memang membutuhkan waktu yang lama."
"Tetapi perkiraan Bapak, kapan perbaikan akan dimulai? Apakah masih akan sempat dilakukan di masa jabatan Bapak?" sergahku lagi.
Entah karena ia tidak mendengar pertanyaanku di tengah berondongan pertanyaan wartawan yang lain, atau karena ia memang tak berselera atau bahkan menolak untuk menanggapi, ia akhirnya masuk ke dalam mobil dinasnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Tentu saja, aku merasa kecewa. Namun, aku pasrah saja menerima kenyataan bahwa politikus memang demikian. Mereka begitu lihai menghindari pertanyaan atau memilih memberikan pernyataan yang diplomatis untuk menghindari tuntutan-tuntutan untuknya kelak.
Setidaknya, aku telah berhasil memperoleh pendapat sang gubernur perihal rencana kemajuan anaknya sebagai calon gubernur. Dengan itu, aku pun telah memiliki bahan yang cukup untuk menuliskan berita yang diinginkan oleh redakturku. Tetapi tiba-tiba, aku tak mau sekadar begitu. Perlahan-lahan, aku jadi berhasrat untuk menyusupkan kritikan di dalam tulisan beritaku.
Akhirnya, demi menghindari kesan bahwa beritaku cuma mempublikasikan rencana sang gubernur untuk mewariskan kekuasaannya, lewat tengah hari kemarin, aku pun memutuskan untuk menemui seorang aktivis yang merupakan ketua sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus memantau perihal proses pembangunan infrastruktur umum. Hingga akhirnya, berselang beberapa lama, aku pun tiba di sekretariat lembaga tersebut, dan berhasil menemui sang targetku.
Pada awal-awal, kami kemudian saling berkenalan dan berbasa-basi. Kami mengobrol terbuka perihal latar belakang kami, termasuk perihal daerah asal kami yang ternyata dua kabupaten yang bertetangga. Sampai akhirnya, setelah pertanyaan pengantar yang bersifat umum, aku pun melontarkan pertanyaan pokok demi pernyataan yang kuinginkan darinya, "Bagaimana pendapat Bapak soal pembangunan infrastruktur selama dua periode masa jabatan Gubernur?"
"Menurut saya, sih, masih sangat jauh dari harapan. Banyak proyek pembangunan yang tidak selesai dan mangkrak sampai saat ini. Selain itu, banyak pula infrastruktur yang rusak, namun tidak kunjung diperbaiki," tuturnya, lantas mengisap dan mengembuskan asap rokoknya. "Lihatlah jalan-jalan provinsi yang hancur di daerah bagian selatan, termasuk di kabupaten asalmu. Sekian lama masyarakat mengeluh dan memprotes, tetapi pemerintah tak juga mengambil tindakan."
Sontak, aku mengangguk dan tersenyum atas singgungan khususnya itu. "Kalau menurut pengamatan Bapak, apa sih yang membuat program pembangunan dan perbaikan infrastruktur itu tidak berjalan sebagaimana mestinya?"
Ia lantas mendengkus. "Itu sih tidak jauh-jauh dari persoalan politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lambannya proses pembangunan, termasuk di provinsi kita ini, ya, karena ada banyak pergulatan politis di dalam urusan proyek. Itu karena banyak orang di dalam pemerintahan yang tidak berkehendak untuk membangun daerah, tetapi untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok melalui proyek-proyek infrastruktur."
Aku pun mengangguk sepaham. "Jadi, bagaimana seharusnya pemerintah provinsi pengatasi persoalan itu?"
"Ya, tidak ada cara selain menyelenggarakan proses pembangunan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta evaluasi proyek pembangunan, harus dilakukan secara profesional," jawabnya, tegas.
Lagi-lagi, aku mengangguk sepaham. Aku merasa suka dengan tanggapannya yang umum namun cukup menyinggung. Hingga akhirnya, aku menanyakan sisi permasalahan yang lain, yang kukira perlu untuk menjadi bahan tulisanku, "Berdasarkan isu yang beredar, anak gubernur berencana untuk maju di pilkada mendatang. Bagaimana pendapat Bapak? Apakah ia akan mampu memimpin daerah ini?"
Ia sontak tertawa pendek. "Saya tentu tidak punya kedudukan yang pas untuk menilai bahwa ia mampu atau tidak, ataukah ia pantas atau tidak. Setiap orang kan punya hak politik untuk memilih dan dipilih. Yang penting, calon di pilkada mendatang, harus memahami permasalahan daerah dan mampu menawarkan program pembangunan yang lebih baik."
Akhirnya, aku merasa telah mendapatkan pernyataan yang kubutuhkan darinya. Tak lama berselang, aku pun mengakhiri proses wawancara.
Tetapi kemudian, di luar rekaman, dengan begitu saja, ia menyampaikan keterangan yang lebih mendalam tentang kenyataan yang sesunguhnya terjadi, "Sebenarnya, proyek-proyek di daerah ini jadi bermasalah karena kentalnya permainan di dalam proses lelang proyek. Itu terjadi karena banyaknya kerabat atau keluarga gubernur yang terlibat dalam urusan proyek. Bahkan anaknya yang berencana maju di pilkada itu, juga memiliki perusahaan yang kami tahu mendapatkan perlakukan khusus dalam memperoleh jatah proyek."
Perasaanku pun tersentak mendengar kesaksiannya.
Ia lantas mengembuskan asap rokoknya dan mendengkus sinis. "Bahkan saya yakin, proyek perbaikan jalan di daerahmu tidak akan dilaksanakan di periode ini. Kami dapat bocoran bahwa dana yang telah dianggarkan untuk perbaikan itu, telah diselewengkan melalui perusahaan anak sang gubernur. Dan kami menduga kuat bahwa dana tersebut akan ia digunakan untuk modal politiknya di pilkada mendatang."
Seketika, aku semakin tak habis pikir atas permainan kotor dan kejam di balik pentas politik.
Hingga akhirnya, setelah basa-basi penutup, aku pun pamit dan pergi.
Sesaat kemudian, aku berada di sebuah kafe. Dengan penuh konsentrasi, aku mulai mengetik berita di ponselku berdasarkan hasil wawancara dan data yang telah kudapatkan. Aku berupaya menuliskannya dengan mengaitkan semua informasi-informasi yang kuperoleh demi menghasilkan berita yang baik.
Atas keterangan penting yang kuketahui dari sang aktivis di luar rekaman, aku pun berhasrat untuk menuliskan berita yang berkualitas. Aku ingin menuliskan singgungan dan kritik, sehingga beritaku bukan sekadar corong bagi omong kosong para politikus. Aku ingin menyusupkan fakta bahwa telah terjadi kongkalikong di dalam pemerintahan gubernur saat ini, yang membuat program pembangunan tidak berjalan baik. Namun tentu saja, aku tetap berusaha untuk menghindari pelanggaran terhadap kaidah off the record dalam etika jurnalistik, demi karierku dan demi keamanan sang aktivis.
Akhirnya, setelah pengetikan sekian lama dan swasunting secara bertahap, aku pun berhasil merampungkan tulisan beritaku. Dengan penuh kebanggaan, aku pun lekas mengirimkannya ke alamat surat elektronik redaksiku.
Namun pagi ini, aku akhirnya menemukan kenyataan yang pahit. Aku menyaksikan bahwa tulisan beritaku di koran telah dipreteli di sana-sini. Orang-orang di bilik redaksi telah menghapus siratan kata-kata singgungan dan kritikan yang halus. Tak pelak, beritaku kembali terbaca selayaknya berita arus utama yang hanya berisi kata-kata manis dari sang gubernur, ditambah saran-saran umum dari sang aktivis.
Tak lama kemudian, pada lembaran selanjutnya, dalam satu halaman penuh, aku pun melihat foto sang gubernur berserta ucapan selamat ulang tahun untuk hari jadi provinsi. Seketika pula, aku pun memahami penyebab sehingga tulisan beritaku mengalami perombakan total.
Sesaat berselang, di tengah kekecewaanku kepada para penjaga gawang redaksi, aku pun mendapatkan telepon dari redakturku. Aku lantas menjawabnya dengan perasaan malas.
"Untuk hari ini, tolong kau konfirmasi ke pihak gubernur perihal isu rencana penggantian kepala dinas pekerjaan umum," titahnya kemudian.
Aku pun menerima penugasannya dengan setengah hati. "Oke. Akan aku lakukan," tanggapku, dengan perasaan yang tak kuasa untuk mempertanyakan perihal pengutak-atikan tulisan beritaku sebelumnya.
Akhirnya, ia pun menyinggung sendiri. "Oh, iya, aku harus memperingatkanmu agar lebih cermat lagi dalam menulis berita politik. Tulisanmu yang tampil di koran hari ini, telah banyak kuubah. Itu karena naskah beritamu itu, terkesan memberikan tudingan-tudingan negatif kepada Bapak Gubernur. Kau terkesan beropini."
Seketika, aku merasa tidak terima atas penilaiannya. "Tetapi, kan, aku telah menyertakan pernyataan seseorang yang kuwawancarai. Itu bukan opiniku, tetapi opini narasumber."
Ia lantas tertawa, seolah-olah sanggahanku tak berarti. "Tetapi tudingan-tudingan yang dilontarkan oleh narasumbermu itu, tidak begitu saja patut engkau jadikan bahan berita. Kau seharusnya melakukan konfirmasi dengan data atau keterangan dari pihak lain. Jika tidak begitu, bisa-bisa, media kita hanya akan jadi sarana untuk memfitnah dan merusak nama baik orang lain."
Aku pun jadi jengkel mendengar remehannya. "Tetapi narasumberku itu seorang ketua LSM. Ia punya kapabilitas untuk berpendapat demikian," bantahku.
Ia malah mengdengkus dan tertawa pendek. "Ya. Dia memang ketua LSM. Tetapi sebagai wartawan politik, kau seharusnya mengetahui latar belakang narasumbermu, juga aktivitas-aktivitas politiknya. Kau seharusnya tahu bahwa ketua LSM itu punya hubungan keluarga dan sangat dekat dengan seorang politikus yang akan maju sebagai calon gubernur di pilkada mendatang. Karena itu, kau patut mengkhawatirkan bias pernyataannya."
Seketika, perasaanku tersentak. "Benarkah begitu?"
"Ya," tegasnya.
Aku pun jadi kelimpungan untuk membalas. Aku merasa bodoh sendiri.
***
Biodata Penulis:
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).
Post a Comment