Berbicara tentang mimpi, pastinya setiap orang memiliki mimpi. Namun permasalahannya, tidak setiap dari kita berani untuk mewujudkan mimpi itu sendiri. Sehingga mimpi yang dibuat hanya sekadar mimpi semata dan tidak akan pernah terwujud menjadi kenyataan. Mungkin selama ini ada banyak mimpi yang sudah dirancang begitu apik di dalam pikiran. Namun, hingga saat ini belum ada tindakan atau apa pun progres dari dalam diri untuk melakukan mewujudkan mimpi tersebut.
Lalu jika begitu, bagaimana mimpi itu sendiri dapat terwujud?
Bukankah ketika orang lain berani mewujudkan mimpinya, harusnya kita juga berani mewujudkan mimpi kita sendiri?
Langit terlihat begitu sendu, matahari terlihat bersembunyi di balik awan lebat, hujan seakan ingin menyapa tapi angin menolaknya. Bagaimana ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan? Memang hati akan terasa sakit, tapi aku tetap mencoba untuk meyakinkan hati jika semua adalah garis hitam yang sudah ditetapkan di dalam hidupku.
Empat tahun lalu saat aku sudah menampatkan bangku perkuliahan dan mendapat gelar sarjana, aku tidak langsung diterima untuk bekerja. Harus melewati banyak proses setiap harinya, bahkan bisa saja dalam waktu seharian itu aku menatap layar ponsel untuk mencari informasi apakah ada lowongan pekerjaan atau tidak. Saat sudah menemukan, aku langsung mengisi data-data apa saja yang harus diisi sesuai dengan ketentuan tempat pekerjaan itu sendiri. Hingga berbulan-bulan aku menunggu informasi tersebut akhirnya aku dipanggil dan dinyatakan lolos interview di sebuah toko baju bermerek. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali bekerja di sebuah penerbit buku, tapi saat mendengar kabar ini rasanya impian itu sudah tidak ada di pikiranku.
Ah, tidak mengapa tidak bekerja di penerbit buku, mungkin memang belum rezekinya di situ, batinku.
Hari pertama aku bekerja di toko baju, di dalam hati aku bertekad untuk bekerja keras agar bisa membantu perekonomian orang rumah, kemudian mendirikan sebuah kedai kopi yang sudah menjadi impianku sejak SMA, serta menerbitkan sebuah buku yang berjejer setara dengan penulis lain yang terkenal. Ternyata rasanya bekerja mencari uang sangat sulit tidak semudah kita menghambur-hamburkannya untuk sekadar membeli barang yang tidak penting.
Letih? Mungkin orang rumah yang bekerja lebih merasakannya.
Capek? Mungkin orang rumah yang bekerja lebih merasakannya.
Mengeluh? Mungkin orang rumah yang bekerja tidak pernah.
Namun, berbeda dengan aku yang sekarang baru sebentar bekerja saja sudah merasakan yang namanya capek kemudian berujung dengan mengeluh, mengeluh, dan terus mengeluh. Aku berusaha menepis semua itu dan kembali tersenyum mengingat apa yang aku harapkan itu dapat menjadi kenyataan. Kemudian melihat orang rumah bangga dan bahagia dengan caraku yang sederhana ini.
Setelah beberapa tahun bekerja di toko, akhirnya dengan berat hati aku memberanikan untuk mengundurkan diri dan mulai merintis kedai kopi yang baru beberapa bulan berdiri di sebuah kawasan Jakarta. Sebelum mengundurkan diri dari toko ini, dengan rasa keisengan aku mencoba melamar di sebuah penerbit buku dan kebetulan aku lolos interview kemudian bisa bekerja di penerbit buku tersebut. Barulah aku memiliki tekad yang bulat untuk mengundurkan diri dan memulai dengan pekerjaan yang baru.
Hari ini, aku pulang lebih awal. Tapi entah mengapa aku merasa banyak hal yang janggal. Seperti ini, aku melihat senja yang kemerahan di ujung cakrawala sana. Dan aku mulai tersadar, sudah lama rasanya tidak menikmatinya. Maka dari itu aku memutuskan untuk bertemu dengannya di kedai kopiku seperti biasanya.
"Gimana? Nyangka ga bisa keterima kerja di penerbit buku?"
"Enggak sama sekali. Keterima di toko baju kemaren aja udah sujud syukur sampai, ya ... lumayan,"
"Kedai kopi jalan bahkan sudah dalam wujud nyata, sekarang kerja di penerbit yang kamu pengenin dari dulu ke wujud juga."
"Alhamdulillah."
"Kemarin yang nulis buku udah selesai?"
"Alhamdulillah udah."
"Maaf ya."
"Maaf kenapa?"
"Suka nggak bales telepon sama bales chat."
"Enggak apa-apa. Dibales pas lagi ada waktu aja nggak usah dipaksain. Aku tau kamu nggak gampang sampe ada titik sekarang ini."
Kesibukanku akhir-akhir ini membuat lupa bagaimana caranya menikmati hari. Bahkan menikmati hal-hal kecil yang sering terjadi tidak kutemui. Terutama manusia yang begitu sabar ini, manusia yang sebenarnya selalu ada untukku. Rasanya apa yang aku rasakan ini masih seperti bunga tidur. Harapan yang selalu aku tulis di dalam buku gelatik kini satu per satu menjadi kenyataan. Namun, harapan untuk bersama manusia yang sabar ini tidak pernah aku tulis di dalam buku, bahkan ini di luar jalur kemauanku dan kemauannya.
"Selamat ya."
"Buat apa?"
"Udah nerbitin buku sendiri."
"Makasih ya. Terus ini apa?"
"Enggak usah bingung gitu mukanya. Itu buat kamu, bukanya nanti aja."
"Ini seriusan?"
"Iya masa boongan buat kamu."
"Tolong jangan gombal."
"Kenapa emangnya?"
"Enggak cocok."
"Enggak apa-apa latihan buat ke depannya terus."
Benar-benar ini semua sudah diatur oleh Sang Pencipta, dulu aku hanya seorang karyawan toko baju biasa, kemudian mengundurkan diri memulai mendirikan kedai kopi, dan sekarang aku menjalani hari-hari sebagai karyawan di penerbit buku sekaligus menerbitkan buku yang kuketik hingga larut tengah malam menjelang pagi. Aku kira semua harapan yang ada di dalam diriku sudah terkubur dan tidak bisa diwujudkan, kini sudah terwujud dengan paket komplit.
Mimpi dan harapan dapat terwujud tentu perlu ada usaha, doa, dan restu dari keluarga. Jika sudah terwujud, maka selanjutnya serahkanlah semua hasilnya kepada Sang Pencipta. Sebab, jika ingin berusaha pasti akan ada jalannya. Maaf ya, karena kesibukanku ini, aku selalu mengabaikanmu, menghiraukan panggilan teleponmu, bahkan hanya membaca pesan yang tidak pernah absen untukku.
Terima kasih juga untuk kamu manusia sabar yang selalu ada dan menyemangati agar aku terus berusaha. Terima kasih karena selain keluargaku, kamu turut andil dalam kehidupanku yang saat ini. Mimpi yang sejak dulu inginkan terwujud, dan kamu yang dulu tidak pernah aku harapakan kini kehadiranmu yang selalu aku nantikan agar selalu bisa bersamamu. Sungguh aku mengucap rasa syukur tiada henti.
@mimo_mimo03 manusia yang sok ikut-ikutan nulis supaya keliahatan lebih dan produktif, namun kenyataannya kaum-kaum rebahan yang mageran.
Post a Comment