Proses ini bisa dibilang sangat penting, sebab dengan
melalukan swasunting penulis berupaya untuk mengurangi semaksimal mungkin kesalahan
yang ada dalam tulisannya.
Swasunting bisa dikatakan adalah tahap akhir sebelum seorang
penulis melepaskan karyanya ke publik. Kalau diibaratkan dengan memasak,
swasunting bisa dikatakan sebagai tahap “plating”, memberikan kemasan yang
lebih menarik pada tulisan sehingga meningkatkan kualitas dan kredibilitas
penulis itu sendiri.
Seperti halnya dalam masakan tadi, bisa saja “rasa” masakan
atau isi dari tulisan yang dibuat seorang penulis sebenarnya sudah “enak”,
sudah berisi, isi dan inti dari tulisan tersebut dipahami oleh pembaca. Namun,
karena pengemasan yang kurang menarik, hingga mengurangi kenyamanan dalam
menikmati karya tersebut.
Hal yang penting dalam swasunting
1. Jangan pernah merasa cukup dengan draf pertama
Draf pertama itu ibarat adonan
kue yang baru jadi. Kebanyakan dari kita entah mengapa sering terjebak dengan
merasa puas dengan draf pertama ini, sekadar selesai merampungkan sebuah
tulisan kemudian melepaskannya ke publik untuk dibaca.
Bayangkan saja rasanya
menyuguhkan adonan mentah kepada orang lain, apakah akan menyenangkan untuk
dinikmati? Bayangkan saja bagaimana perasaan editor saat menerima naskah mentah
sekali tulis?
Saya pribadi suka menertawakan tulisan-tulisan lama saya yang dulu saya kerjakan dengan sistem kebut beberapa jam, merasa sudah cukup layak untuk dibaca orang lain. Memang inti dari tulisan itu tetap bisa didapat oleh pembaca, informasi yang ingin saya sampaikan bisa dicerna. Namun, ketika dibaca lagi dan mengamatinya dengan saksama betapa banyak aib-aib yang kemudian berhasil saya temukan.
2. Biasakan mengendapkan tulisan sebelum melakukan swasunting
Menulis dan melakukan swasunting
harus dilakukan di waktu yang berbeda. Jangan coba langsung mengedit naskah
yang baru ditulis apalagi mengedit sambil menulis karena fokus seorang penulis
bisa pecah. Paling tidak diamkan dulu naskah yang kita tulis beberapa jam, atau
idealnya dua, tiga hari sampai kita agak sedikit lupa dengan apa yang sudah
kita tulis.
Mengapa harus begitu? Karena dengan mengendapkan naskah kemudian
menyapanya lagi di waktu berbeda, kita akan dengan lebih mudah menemukan
kesalahan-kesalahan yang ada.
Saya pribadi, dalam mengunggah status di media sosial saja (sekiranya agak panjang) lebih sering mengendapkan dulu tulisan itu di draf, atau sering kali juga baru menyapa stok-stok tulisan lama di aplikasi Google Keep untuk kemudian melakukan swasunting sebelum tulisan saya lepas ke publik.
3. Jangan jatuh cinta pada tulisan sendiri'
Nah, ini satu hal yang harus
dihindari. Bukan tidak menghargai hasil karya sendiri, tetapi jatuh cinta pada
tulisan sendiri bisa berbahaya, apalagi merasa tulisan kita sudah bagus.
Jatuh cinta pada karya sendiri
ini biasanya diindikasikan dengan keengganan menerima kritik, enggan
memperbaiki dan mengakui kesalahan serta ketidaklogisan karya yang sudah dibuat. Tentunya berbahaya dan sangat
merugikan penulis itu sendiri.
Padahal, dalam swasunting sendiri
kita harus menjadi “Raja Tega”. Kita harus rela mengeksekusi naskah yang sudah
capek-capek kita tulis, mengeyahkan kalimat-kalimat tidak efektif, dan membuang
kosakata mubazir.
Bagi saya pribadi, rasanya mengesalkan kalau menemui naskah yang bertele-tele dan mbulet. Apalagi kalau banyak saltik dan kalimatnya super panjang hingga terlalu banyak ide pokok yang harus dicerna dalam satu tarikan napas.
4. Perdalam pemahaman PUEBI dan KBBI
Bisa dikatakan ini langkah paling
penting dalam melakukan swasunting. Tenang, kita tidak perlu sampai sejago Uda
Ivan Lanin, kita juga tidak perlu membawa buku-buku tebal karena sekarang
keduanya tersedia dalam versi daring yang dapat diakses kapan saja.
Mempelajari PUEBI penting, sebab bisa meminimalisir kesalahan-kesalahan penggunaan ejaan yang masih sering ditemui, misalnya:
- Penulisan kata depan di dan imbuhan di- yang bisa terbalik-balik antara digabungkan dan dipisahkan
- Penggunaan tanda baca jangan mubazir, terlalu banyak titik, tidak ada spasi setelah tanda koma, menggabungkan tanda tanya dan tanda seru, dsb.
Mengetahui kosakata baku di KBBI juga penting agar tidak terbalik atau salah makna. Misalnya:
- Absensi. Kata ini bermakna “ketidakhadiran”, tetapi sering digunakan untuk menyatakan kehadiran. Kata yang lebih tepat harusnya presensi atau daftar hadir.
- Bergeming. Kata ini bermakna “diam, tak bergerak”, tetapi sering digunakan untuk makna “goyah”.
Contoh dalam kalimat:
Meski sudah dikritik habis-habisan, dia tetap tidak bergeming pada pendiriannya. (X)
Meski sudah dikritik habis-habisan, dia tetap bergeming pada pendiriannya.(O)
- Acuh. Kata ini bermakna “peduli”, tetapi sering digunakan untuk makna “tidak peduli”.
Contoh dalam kalimat:
Aku melihatnya terluka, tetapi acuh saja seolah tak ada apa-apa. (X)
Aku melihatnya terluka, tetapi tidak acuh seolah tak ada apa-apa. (O)
Selain itu, juga ada kata-kata yang kita sering gunakan bentuknya sehari-hari ternyata bukan merupakan kosakata baku. Misalnya:
- Ijin seharusnya izin
- Sekedar seharusnya sekadar
- Mushala seharusnya musala
- Jomblo seharusnya jomlo
- dll
Menggunakan kalimat baku, nanti jadi kaku dong? Mungkin sebagian dari kita akan berkata seperti itu, walau dalam kenyataannya yang baku tidak berarti kaku. Lagipula bahasa adalah sesuatu yang terus berkembang, hingga beberapa kosakata gaul bahkan sudah masuk ke KBBI seperti: baper, bukber, gaptek, julid, mager, dan naravlog.
5. Banyak membaca menambah kosakata
Sebenarnya ini harga mati ya, karena tentu kita akan menambah perbendaharaan kosakata baru dengan banyak membaca. Dari banyak membaca juga kita tahu kesalahan apa yang mungkin kita perbuat misalnya dengan membandingkan apa yang kita tulis dengan buku-buku penulis lain, terutama penerbit mayor.
Kalau saya pribadi sejujurnya lebih banyak belajar dari langsung membaca buku karya penulis lain, juga dari membandingkan karya yang saya tulis kemudian dibukukan. Saya akan melihat sendiri perbedaan dari apa yang saya tulis dengan koreksi yang diberikan editor.
6. Cari teman untuk mengoreksi
Mungkin kalau menyewa jasa editor profesional agak sulit dan tentunya menghabiskan biaya, kita bisa mencoba dengan saling membaca karya kemudian memberikan kritik dan saran yang membangun. Tentunya dengan begini, kita bisa mendapat insight baru.
7. Tidak ada tulisan yang benar-benar sempurna
Beri timeline yang jelas dan durasi untuk menulis draf, melakukan swasunting, dan mengirimkan karya. Jangan sampai kita terjebak berlama-lama di salah satunya. Walau kita harus jadi “Raja Tega”, tetapi terlalu lama mengoreksi satu tulisan malah bisa menghilangkan rasa percaya diri itu sendiri.
Contoh-contoh:
Awalnya aku sedikit menjadi sombong dan enggan menerima
masukkan orang lain, lama-lama berpikir aku bukannya menjadi tambah baik dan
malah semakin buruk.
Bandingkan dengan:
Awalnya aku menjadi sedikit sombong dan enggan menerima masukan orang lain. Lama-lama kupikir bukannya bertambah baik malah semakin memburuk.
Aku sosok yang tidak percaya diri
terhadap apapun yang sedang kulakukan adalah aku yang sangat benci diriku
sendiri. Kemampuan ku dalam akademisi bisa dikatakan
tidak terlalu rendah, namun aku tidak percaya dengan diri sendiri. Aku lebih
percaya ketika aku tidak bisa apa-apa. Bodoh sekali bukan ? Padahal manusia itu
sudah memiliki kelebihan dan kekurang masing-masing, namun karena aku terlalu
takut untuk maju melangkah jadi aku hanya tetap berjalan ditempat sampai aku
tertinggal jauh dari orang-orang yang berjalan diwaktu yang sama denganku.
Aku sangat benci sosokku yang tidak percaya diri terhadap apa pun yang kulakukan. Kemampuanku dalam bidang akademis bisa dikatakan tidak terlalu rendah, tetapi aku tidak percaya diri. Aku lebih percaya bahwa aku tidak bisa apa-apa. Bodoh sekali, bukan? Padahal manusia sudah memiliki kekurangan masing-masing. Namun, aku terlalu takut untuk melangkah maju hingga hanya berjalan di tempat sampai tertinggal jauh dari orang-orang yang memulai di waktu bersamaan.
Sumber gambar:
Pixabay
liputan6.com
Post a Comment