"Zyl! Tunggu."
Kevin melangkah cepat menyusul Arzyl, gadis berambut coklat yang sudah cukup jauh dari pandangannya. Runtutan jarak berupaya dipangkasnya meski gadis itu semakin mempercepat langkah bahkan beberapa kali berlarian kecil.
Perempuan dan kecewa adalah dua hal yang sering dipertemukan. Entah bagaimana Tuhan menempatkan kehendak-Nya atau apakah hanya perempuan saja yang menempatkan diri dalam kekecewaan?
Arzyl pun tidak tahu dirinya berada dalam entah yang mana. Tapi satu hal yang ia tahu, ia ingin menghilang dari alur kisahnya namun takdir kasih seolah menyuruhnya berperan lagi.
Baru tadi pagi ia menerima mekarnya bunga, tanda asmara baru. Namun, beberapa jam lalu dipertemukan oleh bunganya yang pernah mekar. Kakinya seolah tidak sanggup melanjutkan langkah, bukan karena ia lemah namun degup jantung dan denyut nadi di kepalanya sungguh hebat untuk menyerahkan raga pada masa lalu.
Ya, Kevin berhasil meraih pergelangan tangannya. Arzyl sedikit terkejut, tetapi memilih menghempaskan tangan yang pernah mengusap kepalanya itu.
"Aku nggak butuh penjelasan apa-apa Vin. Sudah cukup, karena apa pun yang keluar dari lisan kamu akan tetap membuatku percaya begitu saja. Meski aku sudah tahu, itu hanya sebuah singgahan manis."
Kevin berusaha meraih genggaman Arzyl, tapi gadis itu menepisnya. "Tapi aku mau kamu dengerin dulu Zyl." Arzyl menatap Kevin yang memohon namun dengan rahang yang masih begitu kokoh.
"Bahkan dulu saat kamu pergi tiba-tiba, kamu nggak pernah mau dengerin aku Vin."
"Zyl,"
"Lalu sekarang dengan keegoisanmu menyuruhku mendengarkan apa? Apa hah?!"
Tepi jalan yang cukup sepi karena salju turun mampu membuat Arzyl sepenuh hati menyampaikan amarahnya.
Dingin yang menyelimuti pun tidak akan menurunkan sederajat pun panas di hati gadis itu.
Kevin mencoba meraih pipi Arzyl namun Arzyl membuang wajahnya pada dinding merah di sisi kanannya. "Jangan menangis Zyl, itu akan semakin membuatmu kedinginan."
"Aku tidak tahu kamu sepeduli itu denganku, " ucap Arzyl sambil berdecih. Lalu ia tertawa remeh. "Malam itu, salju turun bahkan hendak badai. Tapi apa kamu datang menepati janjimu?" Kevin terdiam.
Arzyl memandang tajam Kevin dalam sorot luka. "Tidak Vin. Kamu pergi begitu saja."
"Aku mencintaimu Zyl, sungguh mencintaimu."
Ucapan Kevin tidak mampu menepis kebas matanya, dibiarkan membeku bersama salju.
"Bukankah itu yang terakhir kamu ucapkan? Dan lihat, kamu pergi dan kita berpisah. Sekarang pun akan seperti itu, hanya saja tolong, aku minta tolong, biarkan aku dulu yang pergi," ujar Arzyl dalam parau.
Kevin berhasil menggenggam tangan dingin Arzyl dan Arzyl tidak melawan. Mungkin tubuhnya seolah mau membeku. Jalar hangat tangan besar ini cukup mampu untuk tidak membuatnya mati kedinginan.
"Biarkan aku pergi Vin. Supaya kamu merasakan bagaimana sakitnya ditinggal. Ya meski aku tahu, tidak akan sesakit waktu itu ketika kamu meninggalkanku."
"I love you Zyl. I do and I always do. Aku minta maaf atas masa lalu kita, satu tahun lalu. Memang, kita tidak bisa bersama lagi. Tapi setidaknya kita berpisah baik-baik."
"Tapi bukankah kamu yang pergi tiba-tiba tanpa pamit?"
Kevin mengangguk paham, semakin menggenggam erat tangan mungil gadis di hadapannya ini. "Ya, itu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan."
Kevin menatap manik indah milik Arzyl yang sampai detik ini mampu mengetuk hatinya. Dulunya, mata itu selalu menyipit bahagia kala tersenyum. Menatap sendu kala bersedih. Namun sekarang berselaput amarah dan kecewa yang tidak mampu dibayar oleh apa pun. Kevin sungguh paham bahwa itu karena dirinya.
"Aku minta maaf sudah membuatmu kedinginan di taman malam itu. Aku minta maaf tidak bisa menghapus air matamu dan mendekap tubuhmu ketika kamu bersedih. Aku minta maaf sudah menggantikan indahnya binarmu menjadi seperti ini."
Sejenak Kevin menjeda ucapannya dengan menyapu lembut salju yang berjatuhan pada rambut Arzyl. "Aku minta maaf selama setahun membiarkanmu menunggu kabarku. Dan aku minta maaf Zyl karena kita tetap tidak bisa bersama."
Tangis Arzyl semakin pecah, ia tahu dirinya ingin menghilangkan semua kasih ini dalam kisahnya. Namun jauh dalam lubuk hati, ia masih mencintai lelaki yang sudah memakai mantelnya dan menutupi kaos yang berwarna cinta itu.
Kevin menangkup pipi Arzyl dalam satu genggamannya. "Sudah Zyl, jangan menangis. Karena semua ini belum takdir hubungan kita. Jika hari ini aku berkata tidak, bisa jadi nanti malam aku berkata iya. Tuhan penuh rahasia, bumi sungguh misteri. Apapun yang insan rencanakan tetap Tuhan yang sudah menentukan."
Arzyl menatap Kevin bersama linang air mata, dalam perasaan yang sudah tidak tau arah dan tujuan. Hatinya luluh dengan semua ini, meski tujuan cowok di hadapannya ini hanya untuk maaf. Bahkan seharusnya tanpa ini semua dan tanpa egonya, Arzyl sudah jauh lebih dulu memaafkan Kevin.
Memang sudah terlanjur seperti itu jurang cintanya, cinta terbaiknya. Ingin sekali Arzyl mengungkap semua itu. Namun, ia percaya ini bukanlah pertemuan terkahir mereka. Namun ada satu hal yang sangat teramat penting, yang hanya bisa dijawab jika bertatap muka seperti saat ini dan sepertinya Kevin tahu. Lelaki itu tersenyum, seolah meyakinkan dirinya untuk berbicara.
"Apakah kamu tetap tidak memberitahuku alasan kenapa kamu pergi?"
Penuh usaha bagi Arzyl untuk mengucapkan kata. Namun, ia bukanlah seseorang yang berani mengambil resiko untuk kecewa. Kevin melepaskan genggamannya, membenarkan posisi mantel yang sedikit berantakan karena berlari. Menatap Arzyl sebentar.
Dengan senyuman, Kevin meraih mantel tebal yang sedari tadi disampirkan di lengan gadis itu. Mengibaskan salju yang berjatuhan pada mantel putih itu. Lalu mengulurkannya pada Arzyl, membantu memasangkan mantel itu. Arzyl terdiam seribu bahasa, kekasih Kevin sungguh beruntung bisa memiliki cowok itu.
"Makanya tangan kamu hampir beku," ujar Kevin sembari tertawa pelan.
Hening tidak terelekkan beberapa menit sesaat setelah Kevin tiba-tiba meraih ponsel milik Arzyl dan mengetik sesuatu. "Nomorku, mungkin kamu perlu bantuanku. Kapan saja dan apa saja. Ya meski kita beda kota. Tapi tidak sejauh dibayangkan."
"Kenapa Vin?" tanya Arzyl sedikit menuntut.
Kevin menatap lekat Arzyl. "Gunakan nomor itu sebaik mungkin Zyl. Entah itu pertanyaan atau pernyataan. Baik itu menyangkut aku atau hanya dirimu. Beritahu aku, tanyakan padaku, ceritakanlah padaku."
Dering ponsel membuat Kevin mengangkat panggilan tanpa sedetik pun beralih pandang dari Arzyl. "Iya Sha, sebentar lagi aku ke sana."
Arzyl yang tidak henti ditatap memilih memilin bulu mantelnya dalam gugup.
"Zyl." Arzyl menatap Kevin. "Terima kasih sudah pernah menjadi bagian cerita cintaku. Kamu selalu ada di hatiku Zyl, kapan pun. Jangan berharap karena kamu bukanlah seorang yang yang egois. Jangan pernah menangis lagi karena senyumanmu tidak ada yang mengalahkan keindahannya. Dan jangan lupa cerita kepadaku, bahkan sekalipun itu tentang John, kekasihmu yang sekarang."
Arzyl memandang heran sekaligus terkejut. "Ba-bagaimana kamu?"
Lantas Kevin tertawa. "Dia lelaki yang baik, dewasa, bahkan lebih mengerti apa yang kamu mau daripada dirimu sendiri. Ucapkan salam dan terima kasih padanya. Karena ia, hari ini aku dan kamu bisa selesai dengan baik-baik."
Kevin menyerahkan ponsel milik Arzyl. "Setelah ini John akan menjemputmu. Tunggulah di sini, tidak akan lama. Jaga dirimu untukku, teman hidupku."
Arzyl memandang tegap punggung Kevin yang menjauh. Tidak lama John, kekasihnya datang menengadahkan payung sembari tersenyum.
"C'mon nanti kamu beku lama-lama di sini. Biar aku ceritakan semuanya."
Surabaya,
Pemula yang akan selalu menyeduh manisnya diksi.
#penyeduhfajar
Post a Comment