Oleh: EDELWEISS JINGGA
Aku masuk ke dalam ruangan bernuansa putih. Seperti biasa, suasananya sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa kutu buku di sana. Aku berjalan menuju rak koleksi buku dari penyair favoritku, tapi sialnya buku yang aku inginkan berada di rak paling atas. Tubuhku yang kecil tak mungkin bisa meraihnya. Namun, tiba-tiba seseorang datang dan mengambilkan buku itu untukku.
"Kamu mau ambil ini, kan?" tanyanya, "lain kali, kalau butuh bantuan bilang aja."
Jantungku berdegup kencang, napasku seolah tercekat. Bagaimana tidak? Laki-laki yang membantuku adalah Bagas, anak dari kelas XI-IPA 1 yang sudah lama aku sukai dalam diam.
"Hei, kenapa melamun?" tanya Bagas.
Aku terkesiap. "Eh, tidak apa-apa kok."
"Nih, bukunya."
"Terima kasih."
Bagas tersenyum manis. Senyum yang mampu memikatku sejak pertama kali bertemu. Iya, aku bertemu dengannya saat MOS, dia satu regu denganku. Penampilannya saat pentas seni benar-benar membuatku terpukau. Awalnya aku hanya kagum, tapi lama-lama perasaanku berubah menjadi cinta.
"Oh iya, namaku Bagas. Aku tahu kita pernah seregu waktu MOS, tapi kita belum sempat berkenalan, jadi siapa namamu?" tanyanya.
"A ... Aku, eh namaku Aira."
"Yah, Aira. Nama yang cantik, seperti orangnya," puji Bagas.
Aku tersenyum malu mendengar pujiannya. Pipiku sudah merah seperti kepiting rebus.
"Mau ke mana setelah ini?" tanyanya.
"Kelas, aku mau baca buku ini."
Dia tersenyum mendengar jawabanku.
"Oh baiklah kalau begitu, aku mau pergi dulu ada urusan penting. Sampai bertemu lagi, Bidadari."
Oh Tuhan!! Jangan ada yang menanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku benar-benar senang, tapi aku tidak ingin terlalu berharap. Aku tidak ingin merasakan sakit seperti cerita novel.
***
Suasana kelas sangat sepi. Para penghuninya masih berada di kantin. Aku duduk sendirian di dalam kelas, menulis seuntai kalimat dalam selembar kertas. Ini sudah jadi kebiasaanku, setiap istirahat pertama aku selalu menyempatkan diri menulis puisi untuknya. Puisi itu aku selipkan pada lokernya.
Aku menatap goresan pena di atas kertas itu.
Dear Bagas
Tuan bermata cokelat
Pesonamu begitu memikat
Kau lelaki pertama dalam kalimat cintaku
Tak ada yang mampu membuat hati ini jatuh sebelumnya
Selain dirimu
From: Pengagum Rahasiamu.
Kira-kira itulah yang kutulis untuknya. Hanya puisi sederhana. Namun, mampu membuatku bahagia. Aku segera melipat kertas itu. Kemudian memasukkannya ke dalam saku kantongku. Aku berjalan menuju loker kelas XI-IPA 1 dengan senyum di wajahku. Namun, senyum itu hilang. Saat aku melihat pemandangan yang tak biasa, di ruang loker kelas XI-IPA 1. Aku bersembunyi di balik pintu ruangan.
"Stella, aku suka sama kamu sejak pertama kali kita bertemu. Kamu mau kan jadi pacarku?" tanya seseorang kepada perempuan di hadapannya. Perempuan di hadapannya itu hanya tersenyum dan mengangguk.
Hatiku sakit melihat dan mendengar ini. Bagaimana tidak, Stella itu sahabatku. Mengapa dia tega mengkhianatiku, dia tahu dengan jelas bahwa aku menyukai Bagas sejak lama.
Mataku panas, dadaku sesak. Air mata mulai turun. Tidak! Aku tidak boleh menangis di sini, bisa-bisa aku jadi bahan gosip. Aku segera pergi meninggalkan tempat itu, agar Bagas dan Stella tidak mengetahui hal itu. Namun sial, kakiku menatap pintu dan menimbulkan suara.
"Aira??" ucap mereka bersamaan.
Sepertinya mereka kaget melihatku, tapi aku tidak lagi memedulikannya.
Aku berlari menuju taman belakang sekolah. Sementara Stella, dia berusaha mengejarku.
"Aira, tunggu! Dengarkan penjelasanku dulu!" teriak Stella.
Stella ngos-ngosan. Dia berusaha mengimbangi langkahku. Hingga akhirnya, dia berhasil menghalangiku.
"Ra, tolong dengarkan aku," katanya.
"Maaf, Ra. Aku gak bisa bohongin perasaanku sendiri. Aku juga sayang sama Bagas, Ra. Aku gak bermaksud mengkhianati persahabatan kita," jelasnya.
"Kenapa kamu sejahat itu?! Kamu tahu aku suka dia, tapi kenapa kamu ngekhianatin aku, Stella?" tanyaku sedikit terisak.
"Maaf, Ra. Perasaan ini gak bisa dicegah."
"Aku kecewa sama kamu Stella," kataku sambil berlalu meninggalkannya.
"Kalau emang putus sama Bagas bisa bikin persahabatan kita balik kaya dulu, oke aku putusin dia sekarang."
"Gak perlu. Pertahanin hubungan kalian dan tinggalkan aku!" kataku kemudian benar-benar pergi.
***
Taman belakang sekolah adalah tempat paling tenang untuk saat ini. Aku duduk di bawah sebuah pohon, kakiku kujadikan sandaran. Aku menangis sendirian di sini. Orang bilang cinta itu indah, tapi mengapa rasanya sesakit ini?
Aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. Kehadirannya mengusikku, membuatku mendongakkan kepalaku.
"Bagas?" ucapku lirih.
"Iya."
"Ra, kamu itu cantik, manis, lucu dan imut. Tapi maaf, Ra. Aku gak bisa suka sama kamu. Aku udah suka Stella bahkan saat kita belum saling kenal. Aku ketemu dia di kafe Mamaku. Saat itu dia bersama temannya yaitu kamu. Sebenarnya, aku udah tahu kamu dari lama, bahkan aku tahu seseorang yang selalu nulis puisi di lokerku itu kamu. Tapi maaf, Ra. Aku gak bisa nerima cinta kamu. Aku sayang Stella, Ra," jelasnya.
"Tapi kenapa? Aku yang berjuang, tapi malah Stella yang kamu pilih. Kenapa harus Stella? Kenapa harus sahabatku sendiri?" tanyaku di sela isakanku.
"Cinta itu datang sendirinya. Kalau aku mau sih, aku bakalan milih cinta sama kamu bukan Stella. Tapi Ra, perasaanku gak bisa dicegah. Aku jatuh cinta sama dia, saat dia mencoba ngenalin kamu ke aku."
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Air mataku turun begitu saja. Begitu sakit mendengarnya.
"Stella itu baik. Dia berusaha mendekatkan kita. Dia udah berkali-kali aku tembak, tapi selalu nolak, dan baru hari ini dia nerima. Ra, tolong. Jangan rusak persahabatan kalian cuma karena aku," ucapnya memohon.
"Aku tahu kita udah jahat banget ke kamu, tapi perasaan gak bisa dipaksa, Ra. Banyak hal yang terjadi di antara kalian, banyak suka duka yang kalian lewati. Apa kamu mau melupakan semua itu, cuma karena aku yang brengsek ini?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan. Sakit memang, tapi apa yang dikatakan Bagas benar. Cinta tidak bisa dipaksa. Jahat jika aku memisahkan mereka. Mungkin, aku hanya ditakdirkan memilikinya bukan mencintainya. Harusnya aku bisa menerima semuanya.
"Maaf Gas," ucapku lirih.
"Harusnya aku yang minta maaf ke kamu, karena aku gak bisa bales perasaan kamu."
"Tidak apa-apa, Gas. Aku paham kok. Cinta gak bisa dipaksa. Jaga Stella ya, jangan sakitin dia," ucapku sambil tersenyum.
"Iya, pasti. Jangan sedih, kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku."
Aku tersenyum mendengarnya. Meski sakit, aku berusaha merelakannya. Cinta tidak bisa dipaksa, sudah saatnya aku mundur dan mengikhlaskannya, dia berhak bahagia dengan pilihannya.
Mojokerto, 21 Juli 2020
Bionarasi penulis:
Adhelia Putri Chandra Prasetya atau kerap disapa akrab Adhelia, menggunakan Edelweiss Jingga sebagai nama penanya. Gadis asal Mojokerto ini, menyukai membaca dan menulis sejak kecil. Ia mulai turun dalam dunia literasi semenjak kelas 7 SMP. Baginya menulis adalah hidup karena dengan menulis, ia bisa mengabadikan setiap moment dalam hidupnya. Penulis dapat ditemukan di Ig: @prstydhlia_ dan Edelweiss Jingga. Fb: Adhelia Prasetya dan wattpad: @prstydhlia_
Salam literasi.
Pict from: pinterest
Post a Comment