Malam kian larut hujan pun semakin lebat diriku masih berada di dalam perpustakaan sekolah saat ini. Karena aku bersekolah di Jerman di mana di sini akan tetap membuka perpustakaan sekolah 24 jam karena memang dibuka umum setelah jam sekolah berakhir pukul sembilan malam.
Dingin malam merembas dari luar dinding perpustakaan ditambah suhu Ac didalam ruangan. Aku sibuk membaca buku novel kumpulan puisi-puisi kesukaanku. Biasanya aku akan menghabiskan tiga jam di perpustakan sebelum pulang ke asrama tempatku tinggal tidak jauh dari sekolah ku.
Hanya tinggal tiga orang di dalam perpustakaan saat ini. Diriku dan seorang perempuan dari kelas musik di samping kelas kesenianku, juga seorang bapak-bapak penjaga perpustakaan malam ini. Beda dari malam biasanya yang akan ramai sampai pukul 2 dini hari tiba. Malam ini begitu sepi, karena mungkin hujan tengah turun lebat malam ini.
Mataku mulai mengantuk setelah sejak sore tadi melahap habis tiga buku puisi-puisi kesukaanku. Karena hujan yang masih lebat aku tak berniat keluar perpustakaan walau sudah sangat lelah dan mengantuk.
Lima menit setelah memaksakan mataku untuk tetap membaca novel di hadapanku ini. Tiba-tiba suara dentuman keras dan jeritan yang tersekat terdengar dari arah balik ruang buku pojok ujung dari meja dudukku saat ini. Lampu perpustakaan menjadi temaram seperti akan segera padam. Benar saja dalam hitungan detik seluruh ruangan menjadi gelap.
Di tengah gelap aku mencoba meraba-raba meja di depanku untuk mencari ponselku. Napasku tersengal-sengal ketakutan untung saja tanganku menyentuh ponsel dan segera menyalakan lampu dari ponselku. Dengan rasa takut dan cemas aku berusaha bergerak untuk mencari sumber suara yang ku dengar tadi.
Langkahku terhenti semakin ketakutan saat tiba-tiba nyala lampu di ponselku mati. Aku lupa membawa powerbank dari dalam tas di dekat meja dudukku tadi. Aku mencoba menyinari ruangan gelap dengan cahaya remang-remang dari arloji di tanganku yang bersinar dalam ruangan gelap.
Langkah terbata-bataku berhenti total saat tangan dingin yang terasa kaku menyentuh pergelangan tangan kananku. Jeritanku menggema di dalam ruangan gelap dan dingin suasana malam yang kian mencengkam ditambah dengan hujan yang masih deras sejak tadi.
Mataku menangkap sesosok yang tak asing di hadapanku dari kilatan cahaya petir yang menyambar jendela kaca di dalam ruangan ini. Bersama dua orang yang sudah menjadi mayat tergeletak di lantai dengan darah pekat berlumuran. Dari cahaya kilatan petir yang hanya berlangsung lima detik saja sudah terlihat jelas dua orang yang berlumuran darah di lantai itu adalah penjaga perpustakaan dan perempuan dari jurusan kelas musik yang kulihat sore tadi sebagai salah satu pengunjung perpustakaan malam ini denganku. Walau hanya melihat sekejap mereka tadi sore aku sudah bisa mengenal bahwa itu adalah benar-benar mereka.
"Mengapa diam kaku saja? Harusnya kau tersenyum bersamaku."
Sosok perempuan yang terasa sangat familiar ini berucap dingin dengan senyum yang menukik dari sudut bibir atasnya. Samar-samar diriku mencoba melihat dengan jelas wajah yang kaku dan menakutkan di hadapanku ini.
"Kau ingin mencoba menusuk dua orang yang terkapar di hadapanmu ini? "
"Kau masih bisa melakukannya."
Napasku semakin sesak menahan tangis sekaligus rasa takut yang kian menghujam pikiranku. Takut kalau-kalau aku akan jadi korban berikutnya. Sebab kini hanya akulah satu-satunya yang tersisa di dalam ruangan ini. Pikiranku beramuk ketakutan memaknai apa yang diucapkannya padaku barusan. Dia meminta aku melakukan hal sama sepertinya pada dua orang yang kini sudah mati di hadapanku ini?
Lutut kakiku semakin bergetar, tubuhku seakan benar-benar akan jatuh tumbang ke lantai. Tapi aku berusaha menahannya dan mencoba mundur kebelakang sambil meraba-raba sesuatu yang bisa kupukulkan pada perempuan pembunuh di depanku ini.
"Kau semakin ketakutan? Sedang aku melakukan sesuai perkataanmu," ucapnya dengan gelak tawa yang dibuat-buatnya. Terdengar amat menyayat dan menakutkan.
Mataku membelalak mendengar perkataannya, apa yang dimaksud oleh wanita di hadapanku ini.
"Aku tidak kenal padamu, apa maksudmu?" Suaraku gemetar bahkan hampir tak terdengar olehku.
"Kau tidak kenal? AKU INI ADALAH KAU!" jeritnya mendekatiku dan hampir seperti akan menerkamku dengan buasnya.
Rasa takutku semakin menjadi kini aku benar-benar tumbang dan terduduk dengan darah yang berlumuran dilantai tersebut ikut menodai mantel panjang yang kukenakan.
Dirinya mendekatiku. Sangat dekat. Tangan kaku dan dinginnya menyentuh pelan pipiku.
"Maaf ya aku pasti membuatmu menjadi semakin takut." Senyumnya terlihat licik dan semakin menukik dari bibirnya.
Kali ini bahkan dalam gelap aku benar-benar melihat dan mengenal wajahnya yang begitu dekat denganku. Aku merasa benar-benar seperti sedang bercermin. Wajahnya sangat mirip padaku. Mata, hidung, dan tatapannya benar-benar sama seperti diriku.
"Aku ini adalah kau. Hanya saja kau tidak pernah menyadari kedatanganku. Bahkan kau tak pernah ingat saat dirimu rapuh namun mencoba membaca bait-bait puisi yang katamu menghiburmu agar kau melupakan semua kesakitan yang kau rasa "
Aku mencoba memaknai ucapannya. Apa maksudnya bahwa dirinya adalah diriku. Bahkan aku sangat ingat betul bahwa aku tidak mempunyai saudara kembar bahkan seorang kakak perempuan pun aku tidak punya. Tiba-tiba kilat petir menyambar lagi bersamaan lampu yang menyala. Perpustakaan yang gelap kembali terang lagi.
***
Kepalaku terasa sakit dan amat berat. Aku melihat-lihat sekitar ruangan. Di mana aku sekarang? Lampu terang, tangan yang diinfus sepertinya aku sedang berada di rumah sakit. Tapi aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di dalam rumah sakit ini. Pikiranku mencoba mengingat-ingat terakhir kali kejadian apa yang aku alami.
Kemudian seorang dokter masuk kedalam ruanganku bersama dua orang berpakaian seragam keamanan. Sepertinya mereka adalah seorang polisi.
Dua orang polisi berseragam tersebut menjelaskan sesuatu padaku. Tentang kejadian di perpustakaan waktu hujan lebat minggu lalu. Aku mencoba mengingat tapi kepalaku semakin terasa sakit setiap kali aku berusaha mengingat setiap detail kejadiannya.
"Apa kau melihat seseorang selain dirimu malam itu? Sebab kami tak menemukan bukti yang mengarah padamu."
Bola mataku berputar-putar cepat mengingat dan memahami pertanyaan dua orang di hadapanku ini.
"A ... a ... ku ... tidak yakin, ada orang yang mirip sepertiku," ucapku terbata-bata hampir menangis.
Dokter di samping bangsalku menggeleng. Seperti memberikan isyarat kepada dua polisi di hadapaku bahwa aku tidak bisa diberi pertanyaan lagi. Kemudian mereka pergi meninggalkan ruanganku.
"Dari hasil diagnosa kami dia mengalami gangguan dissociative identity disorder atau berkepribadian ganda." Suara dokter tadi dari luar ruanganku saat ini terdengar amat jelas olehku.
"Berkepribadian ganda?" gumam batinku. Tiba-tiba semua detail kejadian malam itu di perpustakaan terputar jelas diingatanku.
Hanya aku, benar hanya aku.
.....
Tentang Penulis:
Mahasiswa semester tiga diperguruan tinggi Politeknik Negeri Batam, Kepulauan Riau jurusan elektro, prodi teknik robotika. Mulai suka menulis sejak kelas VI SD hingga sekarang. Aktif menulis berbagai bentuk tulisan di Instagram @coretan_biruu
Post a Comment